Antara Hijab dan Gender (Kajian Secara Dasar)

Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk memahami realitas kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah sebagai Rahmatan Lil ‘Āalamin. Sehingga sebuah konsekuensi logis apabila penciptaan Allah atas makhluk-Nya yaitu laki-laki dan perempuan memiliki missi sebagai Khalifatullah Fiil Ardh, yang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran akan tujuan menyelamatkan peradaban kemanusiaan. Dengan demikian, wanita dalam Islam memiliki peran yang komprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.

Hijab secara istilah khusus merupakan sebuah proteksi yang dapat menjaga seorang wanita dari berbagai macam pelecehan. Hanya saja, ungkapan speperti ini cakupannya sempit dan hanya akan dimengerti dan diamalkan oleh mereka yang meyakini tentang Islam. Sedangkan bagi yang tidak meyakininya, terlebih mereka yang senantiasa mengusung panji feminisme dan atribut-atribut semisalnya akan sangat sulit menerima ungkapan di atas. Karena secara emosional penjagaan memberikan konotasi definitif, sebuah perlawanan yang terpaksa dilakukan. Ini jelas sulit diterima oleh kelompok-kelompok tadi yang selalu meneriakkan yel-yel kebebasan (menurut asumsi mereka).

Berbicara tentang hijāb dan gender, kata hijāb adalah serapan dari bahasa arab yang merupakan mashdhar dari kata hājaba yuhājibu yang kemudian disempurnakan kedalam bahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi kata Hijab. Arti hijāb dalam bahasa Arab secara umum berarti penghalang, sedangkan menurut istilah syara’, al-Hijab adalah suatu tabir yang menutupi semua anggota badan wanita, kecuali wajah dan ke dua telapak tangan dari  penglihatan orang lain. Namun, dari segi interpretasi hijab memiliki makna yang banyak, Al-Fiqh Al-Mawārits memaknai hijab sebagai penghalang seseorang untuk mendapatkan warisan, kemudian dalam Al-Fiqh Al-Munākahat hijab diartikan sebagai penghalang seseorang untuk menikahi yang sedarah atau yang sesusuan (Rodhoah), demikian pula dengan makna hijab ketika dilihat dari konsep Al-Fiqh Al-Ibādah yaitu keterhalangan seseorang dalam melakukan setiap ibadah-seperti berbuat syirik kepada Allah.

Para ahli Tasawwuf, hijab diartikan sebagai tirai yang mendindingi antara hamba dengan Allah, sehingga seorang hamba menjadi terhalang dalam memandang-Nya. Dalam hal ini Syekh Abdul Qadir Al-Jailani r.a. menegaskan pengertian hijab adalah: “Tabir yang menutupi pandangan atau penglihatan manusia”. Secara spesifik hijab yang dimaksud adalah menutupi pandangan mata hati.  Artinya, apabila hijab menyelimuti hati seseorang, maka mata hatinya menjadi buta, dan ketika seseorang buta mata hatinya, ia tidak mampu menyaksikan hakikat sesuatu, karena kemampuannya hanya sebatas pada pandangan yang lahiriah.

Namun ketika hijab dituangkan dalam pergaulan keseharian akan memiliki arti yang berbeda, terkadang kita perlu mengenyampingkan hijab dan menjungjung tinggi toleransi di atas segalanya. Alasan mengapa hijab dikesampingkan dan toleransi dijungjung tinggi, cukup simpel untuk menjawabnya kita tentunya akan menolong orang yang membutuhkan kita sekalipun orang tersebut berbeda kyakinan, selama batasan-batasan tersebut tidak bertentangan dengan yang bersifat ritual.

Berbicara tentang gender, gender adalah pembagian peran kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat. Dengan demkian kaum perempuan akan memiliki akses untuk berpartisipasi di bidang politik, ekonomi, dan intelektual-pendidikan selama itu semua dianggap pantas. Kaum laki-laki juga bisa atau terbuka kemungkinan untuk berpartisipasi penuh di rumah dan ikut merawat anak-anak sehingga tercipta suatu masyarakat yang seimbang dan adil. Berkaitan dengan masalah keadilan sosial, maka adalah menjadi suatu keharusan untuk menentang sistem patriarkhi-kekuasaan sang ayah, tetapi juga bukan untuk memberlakukan sistem matriarkhi-kekuasaan sang ibu, melainkan untuk terciptanya keselarasan yang harmonis diantara keduannya.

Keseimbangan antara patriarkhi dan matriarkhi akan menghasilkan sebuah konsep hidup yang harmonis, kekuasaan sang ayah seharusnya ada dalam hal mendidik maupun yang bertanggung jawab rumah tangga secara ekstrirn, ditunjang lagi dengan kekuasaan sang ibu yang mendominasi ketika anak harus mencurahkan cerita-ceritanya, karena biasanya ibu selalu ada ketika anaknya membutuhkan.

Konsep tersebut yang membuat keseimbangan dalam lingkup sosial, sudah sepantasnya kita berbenah diri untuk menerima dengan luas makna hijab dan makna gender, saya sengaja menyelipkan judul ini hanya untuk memperluas pengetahuan.

1 Response to " Antara Hijab dan Gender (Kajian Secara Dasar) "